PALEMBANG,SINDOSUMSEL.COM–Calon presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto, yakin dirinya dan Gibran Rakabuming Raka mampu memenangkan Pilpres 2024 dengan satu putaran. Tiga pasangan yang akan mengikuti Pilpres 2024 adalah Paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 01, Paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka 02, dan Paslon Ganjar Pranowo-Mahfud 03.Rekapitulasi Pemungutan Suara Nasional Pemilu 2024 dijadwalkan berlangsung pada 15 Februari 2024 hingga 20 Maret 2024.
Sementara itu, pada Rabu 06 Maret 2024 pukul 07.00 WIB, unggahan terakhir KPU menunjukkan informasi terkini realisasi hasil penghitungan suara Pilpres 2024 mencapai 78,10%. Dari 823.236 TPS, yang terhitung sebanyak 642.976 TPS. Update hasil penghitungan suara aktual Pilpres 2024: Paslon 02 masih memimpin dengan 75.361.187 suara atau 58,82%.
Prabowo menolak putaran kedua karena pasangan calon 02 menang di beberapa kota dan daerah. Kemenangan Prabowo-Gibran tak lepas dari kekuatan politiknya dalam mempengaruhi pemilih. Jokowi sendiri menggunakan kekuasaannya untuk memobilisasi lembaga hukum dan administrasi negara demi kemenangan pasangan tersebut.
Di Jawa Tengah, wali kota meminta camat dan lurah menggarahkan warganya untuk dukungan Prabowo Gibran. Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya telah memeriksa bawahannya atas dugaan korupsi. Pihak berwenang juga menekan pemerintah setempat untuk memerintahkan para pemimpin desa untuk menginstruksikan warga agar membiarkan Prabowo Gibran menang.
Sistem pemilu mengandung banyak aturan yang menentukan siapa yang dapat mencalonkan diri dan bagaimana proses pemilu berjalan, serta berperan dalam keseimbangan kekuasaan politik. Sistem pemilu Indonesia saat ini dimanipulasi untuk menguntungkan pihak berwenang. Pada Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi mengabaikan undang-undang tersebut dan mengizinkan putra presiden, Gibran yang belum cukup umur untuk menjadi cawapres.
Sebuah sistem yang dirancang untuk memastikan bahwa hanya kandidat yang didukung oleh pihak berwenang yang menang akan menjadikan pemilu 2024 serupa dengan pemilu Orde Baru, yang selalu dimenangkan oleh Soeharto. Dulu Soeharto menggunakan ABG-ABRI, birokrasi, dan jalur Golkar. Sebaliknya, Jokowi menggunakan institusi, birokrasi, dan partai politiknya.
Tapi hanya ada satu masalah, Bawaslu tidak pernah serius menyelidiki kecurangan multi-level ini, dan Mahkamah Konstitusi kemungkinan besar akan menolak permohonan untuk menggugat hasil pemilu dengan alasan selisih suara yang dipermasalahkan tidak cukup besar. Sistem pemilu harus dibongkar karena tindakan politik mempunyai kekuatan untuk memanipulasi hasil pemilu.
Dan masyarakat sipil perlu melakukan mobilisasi lebih lanjut untuk terus menekan para politisi yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan kebijakan reformasi pemilu. Kualitas demokrasi tidak hanya diukur dari jumlah pemilih, tapi juga prosesnya.(Belda Wulantini)